Kbmi 3 Adalah Golongan Bank Dengan Modal Inti Sebesar
Video: Solusi Layanan Digital Amar Bank Dukung Target Ekonomi RI 8%
Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten bank digital milik pengusaha nasional Chairul Tanjung, PT Allo Bank Indonesia Tbk (BBHI) menyatakan telah memenuhi ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengenai kewajiban modal inti untuk 2021 dan Rp 3 triliun untuk tahun ini.
Berdasarkan keterbukaan informasi di website Bursa Efek Indonesia (BEI), manajemen Allo Bank menjelaskan, untuk tahun lalu, modal inti minimum yang wajib dipenuhi perseroan adalah sebesar Rp 1 triliun. Kewajiban tersebut lebih kecil dari ketentuan OJK secara umum sebesar Rp 2 triliun.
Menurut penjelasan manajemen, ini karena Allo Bank telah tercatat dalam administrasi pengawasan Otoritas Jasa Keuangan sebagai anggota Kelompok Usaha Bank (KUB) Mega Corpora, grup milik Chairul Tanjung.
Masuknya Allo Bank dalam KUB Mega Corpora tersebut berdasarkan Surat Otoritas Jasa Keuangan No. S-69/PB.31/2021 tanggal 13 April 2021 perihal Perubahan Struktur Kelompok Usaha Bank (KUB) Mega Corpora.
Adapun dalam struktur KUB tersebut, PT Bank Mega Tbk (MEGA) menjadi pelaksana perusahaan induk, sedangkan Allo Bank bersama PT Bank Mega Syariah menjadi anggota.
Adapun, untuk memenuhi kewajiban Rp 1 triliun OJK, eks Bank Harda Internasional tersebut telah melaksanakan Penambahan Modal Dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) alias rights issue melalui Penawaran Umum Terbatas II (PUT II) berdasarkan pernyataan efektif dari OJK tertanggal 30 Juni 2021.
Dana yang diperoleh dari PUT II tersebut sebanyak Rp 749.850.177.600 (Rp 749,85 miliar). Dengan tambahan dana PUT II itu, per tanggal 31 Agustus 2021 modal inti Perseroan tercatat sebesar Rp 1.145.364.666.946 (Rp 1,14 triliun).
"Oleh karenanya perseroan telah memenuhi kewajiban modal inti minimum [untuk tahun 2021] yang diatur dalam POJK 12/2020," kata manajemen Allo Bank, dikutip CNBC Indonesia, Jumat (14/1/2022).
Menurut laporan keuangan Allo Bank per kuartal III-2021, jumlah modal inti (tier 1) perusahaan terkini mencapai Rp 1,26 triliun.
Saat ini, Allo Bank sendiri sedang melaksanakan aksi korporasi rights issue senilai Rp 4,80 triliun.
Ke depan, dengan tambahan modal senilai Rp 4,80 triliun tersebut, maka modal inti BBHI akan berubah menjadi Rp 6,06 triliun.
Dengan demikian, Allo Bank akan naik kelas ke dalam Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI) 2 (atau bank dengan modal inti di atas Rp 6 triliun).
Menjawab pertanyaan bursa mengenai strategi perseroan pasca-pemenuhan modal inti minimum tersebut, pihak Allo Bank menjelaskan, strategi yang akan dilakukan oleh perseroan untuk mempertahankan modal inti minimum adalah dengan mempertahankan profitabilitas.
Hal tersebut, jelas pihak Allo Bank dilakukan melalui pertumbuhan secara organik, yakni dengan cara mempertahankan atau meningkatkan pendapatan bunga bersih atau net interest income (NIM), menjaga kualitas aktiva produktif.
Kemudian, cara lainnya adalah dengan mempertahankan atau meningkatkan fee based income (pendapatan berbasis komisi), dan menjaga atau meningkatkan efisiensi biaya-biaya operasional.
Saksikan video di bawah ini:
Video: Persaingan Ketat! Bos Allo Bank Bongkar Kunci Bisnis Paylater
Lndwdi1ibG9jay1sb29wLWl0ZW1bZGF0YS10b29sc2V0LXZpZXdzLXZpZXctdGVtcGxhdGUtYmxvY2s9ImY0OWEyNDJkNWVhZDI3MDljNzc2NTJiM2YwOTM3MDcxIl0geyBmb250LXNpemU6IDEzcHg7IH0g
Tanggal: 30 Juli 2021
Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti yang selanjutnya disingkat KBMI adalah pengelompokan bank yang didasarkan pada Modal Inti yang dimiliki.
Akses Premium Bebas Iklan
Dapatkan akses bebas iklan dan fitur spesial premium lainnya hanya dengan Rp50.000/tahun
Klik di sini untuk informasi selengkapnya
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,
ILUSTRASI. Sejumlah perbankan mengalami pergeseran modal inti yang menyebabkan levelnya naik kasta dalam KBMI.
Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perbankan mengalami pergeseran modal inti yang menyebabkan levelnya naik kasta dalam kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI).
Jika melihat data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebanyak dua bank mengalami pergeseran dari KBMI 1 naik level menjadi KBMI 2 pada periode tiga bulan pertama tahun ini, atau Kuartal I-2024.
Sebagai informasi, bank KBMI 1 memiliki modal inti minimum sampai Rp 6 triliun, sementara bank yang masuk jajaran KBMI 2 memiliki modal inti di atas Rp 6 triliun sampai Rp 14 triliun. Adapun KBMI 3 memiliki modal inti di atas Rp 14 triliun sampai Rp 70 triliun, dan KBMI 4 dengan modal inti lebih dari Rp 70 triliun.
Baca Juga: Beralih dari Bank Muamalat, BTN Dikabarkan Sedang Due Diligence Bank Victoria Syariah
Setelah ditelisik, ada PT Bank Maspion Indonesia Tbk (BMAS) yang baru naik level menjadi KBMI 2 dengan modal inti saat ini sebesar Rp 6,58 triliun per Maret 2024.
Direktur Utama Bank Maspion Kasemsri Charoensiddhi mengatakan, secara teknis kenaikan modal inti tersebut terjadi setelah aksi rihg issue yang dilaksanakan pada Kuartal IV tahun 2023 lalu.
Dari penerbitan saham sebanyak 9,48 miliar saham tersebut, Bank Maspion memperoleh dana segar sekitar Rp 3,57 triliun. Alhasil modal inti Bank Maspion naik dari Rp 3,01 triliun per September 2023 menjadi Rp 6,58 triliun per Desember 2023.
"Aksi korporasi atau rights issue yang dilakukan pada Kuartal IV-2023 lalu telah membuat modal inti Bank Maspion menjadi lebih dari Rp 6 triliun dan masuk dalam kategori KBMI 2. Melalui penambahan modal tersebut, Bank Maspion berkomitmen sebagai mitra keuangan dan bisnis yang dapat diandalkan," ungkap Kasemsri kepada Kontan.
Lebih lanjut Kasemsri menyebut tahun ini pihaknya akan tetap fokus menjalankan bisnis bank dengan melanjutkan pertumbuhan kinerja laba yang signifikan pada Kuartal I-2024.
Asal tahu saja, Bank Maspion pada Kuartal I-2024 mencatatkan peningkatan kinerja secara tahunan, dimana laba meningkat 68% yoy menjadi Rp 47,3 miliar. Hal ini utamanya didukung oleh pertumbuhan kredit yang signifikan tumbuh sebesar 53% yoy menjadi Rp 4,9 triliun pada periode tiga bulan pertama tahun 2024.
"Hal ini sejalan dengan rencana bisnis bank sepanjang tahun 2024 dimana bank akan berfokus pada pertumbuhan kinerja keuangan melalui pertumbuhan kredit terutama pada lini komersial dan korporasi yang menjadi basis kredit bank," ungkapnya.
Di samping itu, untuk mendukung rencna dan target bisnisnya, Bank Maspion akan berkolaborasi dengan Kasikorn bank selaku pemegang saham, dengan memanfaatkan jaringan dan keahlian AEC+3 KBank untuk memfasilitasi hubungan bisnis di Indonesia dan seluruh kawasan Asean.
Selain Bank Maspion, ada PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) atau BNC yang jika tidak ada aral melintang akan melakukan rights issue dengan menerbitkan sebanyak 5 miliar saham, dan dijadwalkan pada Juni sampai Juli mendatang.
Baca Juga: BI Catat Aliran Modal Asing Masuk Capai Rp 8,91 Triliun di Pekan Kedua Juni 2024
Direktur Bisnis BNC Aditya Windarwo mengatakan, penambahan modal tersebut setidaknya diperkirakan akan memperoleh dana segar sekitar Rp 600 miliar sampai Rp 800 miliar.
Bahkan Aditya menyebut perolehan dana rights issue tersebut berpotensi mencapai Rp 1 triliun jika pergerakan Harga saham BBYB naik.
Namun jika melihat perkiraan perolehan modal dari rencana rights issue tersebut, BNC memang belum akan naik level dari posisinya yang saat ini berada di KBMI 1 dengan jumlah modal inti sebesar Rp 3,41 triliun per Maret 2024.
"Nantinya dari perolehan dana rights issue tersebut, akan dialokasikan untuk modal ekspansi kredit sebanyak 40%, untuk kegiatan operasional sebesar 45%, dan pengembangan teknologi informasi," kata Aditya.
Lebih lanjut Aditya menyebut, pihaknya akan mulai fokus menyasar segmen kredit komersial dan korporasi.
Sementara itu jika melihat laporan keuangan PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (bjb), total modal inti perseroan secara konsolidasi telah mencapai Rp 15,41 triliun, yang artinya sudah masuk level KBMI 3. Namun jika melihat secara bank only, modal inti bjb memang baru Rp 13,83 triliun.
Saat dikonfirmasi, manajemen bjb belum merespons terkait dengan posisi modal inti mereka. Meskipun memang saat ini bjb tengah fokus memperkuat konglomerasinya dengan ber-KUB (Kelompok Usaha Bank).
Meskipun pada tahun 2023 lalu bjb hendak melaksanakan rights issue, namun harus batal karena permodalan yang dinilai masih cukup kuat dalam mendorong pertumbuhan bisnis bank.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Reporter: Nurtiandriyani Simamora Editor: Herlina Kartika Dewi
ILUSTRASI. Kinerja bank berdasarkan modal inti (KBMI) 3 sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini terlihat lebih buruk dari bank KBMI 4./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/18/11/2019.
Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kinerja bank berdasarkan modal inti (KBMI) 3 sepanjang sembilan bulan pertama tahun ini kurang memuaskan. Sebagian besar bank di kelompok ini mencatatkan penurunan kinerja di tengah peningkatan beban bunga.
Jika dilihat dari laporan kuartalan bank KBMI 3, lima bank tercatat mengalami penurunan laba bersih. Pertumbuhan laba hanya ditorehkan oleh Bank CIMB Niaga, Bank OCBC NISP, Bank Syariah Indonesia (BRIS), dan Bank Permata.
PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) mencatatkan laba bersih senilai Rp 5,13 triliun hingga kuartal III 2024. Nilai tersebut tumbuh 4,7% secara tahunan atau year on year (YoY) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang ada di Rp 4,95 triliun.
Baca Juga: Risiko Kredit Macet Tetap Mengintai Perbankan, Meski Rasio NPL Membaik
Presiden Direktur CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, perolehan laba ini diiringi dengan penyaluran kredit yang naik 6,4% YoY menjadi Rp 218,6 triliun, terutama dari pertumbuhan Usaha Kecil Menengah (UKM) yang naik 9,4 % YoY, diikuti oleh perbankan korporat yang tumbuh 7,1% YoY, dan Perbankan Konsumer meningkat 5,4% YoY.
"Kenaikan tertinggi di kredit atau pembiayaan retail terutama dikontribusikan dari pertumbuhan Kredit Pemilikan Mobil (KPM) yang meningkat sebesar 18,2 persen YoY," kata Lani dalam keterangan tertulis, dikutip Sabtu (2/11).
Adapun PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) membukukan laba bersih sebesar Rp 5,11 triliun hingga kuartal-III 2024. Angka tersebut naik 21,60% apabila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan pencapaian tersebut tak lepas dari pertumbuhan bisnis yang sehat. Hingga kuartal-III 2024 pendapatan margin bagi hasil BSI mencapai sebesar Rp 18,41 triliun, tumbuh sebesar 1,98% YoY.
Selain itu, indikator profitabilitas mengalami kenaikan dilihat dari Return on Asset (ROA) yang mengalami kenaikan sebesar 12 basis poin year to date mencapai sebesar 2,47% dan Return on Equity atau ROE tercatat di level 17,59 persen, naik dari September 2023 di angka 16,85%.
Baca Juga: Kinerja Mobile Banking Bank KBMI 4 Melesat, Siapa Pemimpin Transaksi Tertinggi?
"Dengan demikian BSI mampu membukukan laba bersih kuartal ketiga 2024 sebesar Rp 5,11 triliun atau mengalami pertumbuhan sebesar 21,60% secara YoY," kata Hery.
Sementara PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC) membukukan laba bersih Rp 3,82 triliun pada akhir September 2024, meningkat 25,24% YoY.
Pertumbuhan laba bersih ini didorong oleh pendapatan bunga bersih (net interest income/NII) yang naik sebesar 10,03% YoY menjadi Rp 8,12 triliun, seiring dengan penurunan beban cadangan kerugian penurunan nilai atas aset keuangan.
Pertumbuhan kinerja ini juga didukung dari aksi korporasi perseroan yang telah mengakuisisi PT Bank Commonwealth (PTBC) pada Mei 2024.
“Memasuki kuartal ketiga tahun ini, bank semakin tangguh dengan mencatatkan kinerja yang tumbuh secara konsisten. Pertumbuhan aset yang mencapai 16% dan dana pihak ketiga (DPK) sebesar 8% mencerminkan kepercayaan nasabah yang semakin besar terhadap OCBC," ungkap Parwati Surjaudaja, Presiden Direktur OCBC.
PT Bank Permata Tbk. (BNLI) juga membukukan pertumbuhan laba bersih 30,1% YoY mencapai Rp2,8 triliun pada kuartal III-2024.
Direktur Utama Bank Permata Meliza M. Rusli menyampaikan angka positif tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan penyaluran kredit kepada segmen korporasi, komersil, dan konsumer. Kolaborasi dengan Bangkok Bank juga turut menyokong kinerja.
Baca Juga: Cermati Sektor-Sektor Menarik di Musim Laporan Keuangan Kuartal III 2024
“Penyaluran kredit yang dilakukan secara fokus dan konsisten dengan prinsip kehati-hatian menghasilkan pertumbuhan kredit sebesar 8,6% menjadi Rp150,8 triliun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,” katanya.
Adapun bank yang mengalami kontraksi laba, di antaranya Bank Danamon dengan penurunan sebesar 8,9%, Bank BTPN sebesar 4,7%, Bank Panin 19%, Maybank Indonesia 55,2%, dan Bank Mega sebesar 28,5%.
Analis Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji menilai, pergerakan harga saham nya yang relatif liquid ada Bank Niaga, Bank Danamon, dan BRIS.
"Kalau menurut saya dalam manfaatkan kondisi pergerakan harga, misalnya kalau BDMN kan sideways ya, primary trendnya. Tapi jika dalam keadaan bullish atau uptrend, memang saya melihat ada Bank CIMB Niaga, dan BRIS. Kalau sisanya untuk bank-bank lainnya memang harus ada tuntutan untuk melakukan aksi korporasi dalam rangka meningktkan likuiditas," ungkap Nafan kepdaa kontan.co.id, Minggu (3/11).
Misalnya kata Nafan dengan melakukan rights issue, pendanaan, dan merger. Seperti merger yang dialami oleh NISP, dan Bank Commonwealth. Nafan melihat, untuk saham NISP memang sempat bullish, tapi bullishnya juga karena faktor merger. "Merger kan berakhir, jadi sentimennya juga berakhir," katanya.
Lebih lanjut Nafan menjelaskan, terkait kinerja fundamentalnya semuanya tergantung bagaimana perbankan tersebut bisa mampu meningkatkan ekspansi bisnis. Baik itu dalam bentuk lendings maupun juga savings.
Baca Juga: Perbankan Berlomba Menggenjot Mobile Banking
Juga secara umum, secara makro. Jika melihat tren penurunan suku bunga oleh Bank Indonesia ke depan disebut Nafan akan terbuka lebar. Hal ini sering dengan adanya kebijakan bank sentral global dalam rangka menurunkan suku bunga acuan.
"Paling ini diharapkan bisa mampu meningkatkan likuiditas. Dengan demikian maka bank-bank tersebut diharapkan bisa mampu menjalankan ekspansi bisnisnya. Dalam hal ini ekspansi kredit. Sehingga bisa memperkuat kinerja net interest margin ke depannya," imbuhnya.
Sementara, Investment Consultant Reliance Sekuritas Indonesia Reza Priyambada mengatakan, saham-saham bank lapis dua yang menarik dikoleksi jika melihat kinerja keuangannya yang positif di kuartal III di antaranya saham NISP, BNLI, BNGA, dan BRIS.
Menurutnya, dengan fundamental yang kuat dan pertumbuhan yang konsisten, saham NISP memiliki prospek yang positif, sementara saham BNGA memiliki valuasi yang murah dengan Price Earning Ratio (PER) dan Price Book Value (PBV) yang masih di bawah rata-rata industri, menjadikannya pilihan yang menarik.
"Adapun saham BNLI masih menarik untuk dipertimbangkan karena memiliki potensi untuk tumbuh lebih lanjut. Secara keseluruhan, meskipun beberapa bank mengalami penurunan laba, prospek saham bank lapis dua masih menarik karena valuasi yang relatif murah dan fundamental yang kuat," kata Reza.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Reporter: Selvi Mayasari Editor: Handoyo .
Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan perubahan klasifikasi bank dari bank umum kegiatan usaha (BUKU) menjadi kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) tidak mewajibkan penyesuaian modal inti menjadi Rp 6 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Heru Kristiyana mengatakan, aturan modal inti minimum perbankan yang akan berlaku tetap Rp 3 triliun. Modal minimal ini wajib dipenuhi pada tahun 2022 dan Bank Pembangunan Daerah (BPD) diberi kelonggaran hingga tahun 2024.
"Pengelompokan KBMI ini sebetulnya hanya untuk kepentingan prudensial OJK, lebih ke dalam. Aturan modal inti tetap Rp 3 triliun. Kalau dalam perkembangannya sangat cepat maka bank akan secara alamiah tambah modal karena digitalisasi butuh teknologi dan teknologi membutuhkan modal," jelas Heru dalam paparan virtual, Senin (23/8).
OJK telah melakukan redefinisi pengelompokan Bank Umum dari sebelumnya BUKU menjadi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI). Hal tersebut terdapat dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum.
Kelompok KBMI 1 memiliki modal inti sampai dengan Rp 6 triliun, KBMI 2 punya modal inti di atas Rp 6 triliun sampai dengan Rp14 triliun; KBMI 3 modal inti dari Rp14 triliun sampai dengan Rp 70 triliun, dan KBMI 4 modal intinya di atas Rp 70 triliun.
Baca Juga: Investor asing masih berburu bank di Indonesia
Heru juga menegaskan, tidak ada bank yang turun atau naik kelas terkait dengan pengelompokan baru tersebut.
Dulunya, pengelompokan bank dilakukan berdasarkan BUKU dengan tujuan mendorong konsolidasi. Bank BUKU I dibatasi dalam membuat produk yang berkaitan dengan digital dengan harapan bank mau menambah modal agar naik BUKU.
Namun dalam perkembangannya, tujuan OJK tersebut tidak tercapai. Oleh karena itu, OJK memutuskan untuk melakukan perubahan dengan KBMI yang tujuannya agar dapat membuat klaster bank itu menjadi lebih tepat sehingga modal inti itu tidak terlalu jauh antara bank satu dan bank lain.
"Ini sebetulnya hanya untuk kepentingan prudensial OJK, lebih ke dalam, untuk kepentingan bagaimana kita membuat klastering lebih tepat antara bank-bank yang modal intinya sangat-sangat jauh, keperluan statistik dan ketepatan pengelompokkan bank sesuai peer-nya," kata dia.
Selain itu, pengelompokkan baru ini juga bertujuan untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan secara efektif dan pengawasan yang lebih efisien.
Adapun angka-angka pengelompokan baru tersebut sudah melaui kajian akademis dan menyesuaikan dengan best practice di negara lain.
"Pengelompokan ini betul-betul kami siapkan, kami kaji sangat panjang, sehingga kami akhirnya mengeluarkan angka-angka seperti itu," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk Editor: Herlina Kartika Dewi
Baru-baru ini dunia bisnis dan perbankan dihebohkan dengan diterbitkannya Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum. Pasalnya, di peraturan tersebut ada perubahan yang cukup menggemparkan terkait dengan pengelompokan bank umum yang tak lagi didasarkan pada kegiatan usaha, tetapi pada modal inti. Apa sebenarnya esensi dan tujuan dari peraturan tersebut serta bagaimana implementasinya? Simak uraian selengkapnya berikut ini.
Setiap bisnis pastilah memiliki modal sebagai sumber daya finansial yang wajib hukumnya. Demikian pula dalam bisnis di industri perbankan. Modal inti dalam perbankan dapat dipahami sebagai modal yang disetor oleh para pemilik bank dan modal yang bersumber dari cadangan yang dibentuk serta masih ditambah dengan laba yang ditahan. Jadi, modal inti bank merupakan akumulasi dari modal disetor, cadangan yang dibentuk, dan laba ditahan.
Ditinjau dari komposisinya, komponen terbesar dari modal inti adalah modal saham yang disetor. Sementara selebihnya tergantung pada laba yang diperoleh dan kebijakan yang diambil dan disepakati dalam rapat umum pemegang saham.
Redefinisi pengelompokan bank umum
Sebagaimana diketahui bersama bahwa pengelompokan bank umum didasarkan pada kegiatan usaha yang dikenal dengan Bank Umum berdasarkan Kegiatan Usaha (BUKU). Penggunaan istilah BUKU dalam penggolongan bank umum ini bertujuan untuk mendorong konsolidasi, karena pengajuan kegiatan usaha sering kali dikaitkan dengan modal inti. Permasalahannya, modal inti pada bank golongan BUKU I dianggap belum cukup untuk membuat kegiatan usaha atau produk bank tertentu.
Sebelumnya skema pengelompokan bank umum berdasarkan kegiatan usaha (BUKU) ditentukan sebagai berikut.
Industri perbankan yang semakin berkembang baik dari segi teknologi dan layanan, penggolongan bank tersebut dirasa tidak lagi relevan. Selain itu, sering menjadi penghambat bisnis bank bertumbuh sesuai yang diharapkan, karena terbentur aturan modal inti. Sebab itu, OJK melakukan redefinisi atau perubahan pengelompokan bank umum yang sebelumnya menggunakan istilah BUKU menjadi Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI).
Adakah perbedaan mendasar atas perubahan pengelompokan bank umum tersebut? Jelas ada. Jika pada peraturan sebelumnya bank umum dikelompokkan berdasarkan kegiatan usahanya, sekarang didasarkan pada modal intinya. Pengelompokan bank umum menurut peraturan terbaru tetap digolongkan menjadi empat kategori Kelompok Bank berdasarkan Modal Inti (KBMI), dengan pembagian sebagai berikut.
Perubahan penggolongan bank umum ini jelas berpengaruh pada posisi atau kedudukan masing-masing bank. Sebelumnya dengan menggunakan kategori BUKU, terdapat delapan bank umum yang menduduki ‘kasta’ tertinggi. Namun dengan kategorisasi yang baru dengan KBMI, hanya terdapat empat bank umum saja yang menduduki posisi tertinggi, yaitu:
Ketentuan KBMI berlaku bagi bank umum berbadan hukum Indonesia, kantor cabang berkedudukan di luar negeri (KCBLN), bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara syariah, dan unit usaha syariah bank. Untuk unit usaha syariah bank, ketentuan modal inti mengacu pada modal inti bank yang menjadi induknya.
Tujuan perubahan pengelompokan bank umum
OJK melakukan perubahan pengelompokan bank umum tentu saja memiliki tujuan tertentu. Secara umum, tujuan dari perubahan tersebut lebih mengacu pada kepentingan prudensial internal OJK. Meski terdapat perubahan pada modal inti, namun tidak ada bank yang naik atau turun kelas. Artinya, perubahan kelompok bank berdasarkan modal inti tidak berpengaruh pada ‘strata’ masing-masing bank.
Pada prinsipnya, aturan modal inti tetap Rp 3 triliun. Ketika kegiatan usaha bank mengalami kemajuan yang pesat, maka secara otomatis modal akan bertambah seiring dengan perkembangan teknologi, karena teknologi membutuhkan modal.
Bicara tentang teknologi digital, dulu bank umum yang termasuk dalam kategori BUKU I dibatasi dalam membuat produk yang berkaitan dengan digital. Harapannya, bank terkait bersedia untuk menambah modal inti sehingga mengalami kenaikan BUKU. Sayangnya, harapan tersebut tidak terealisasi karena tak lagi relevan dengan kondisi dan perubahan zaman. Oleh sebab itu, OJK mengambil langkah mengubah kelompok bank umum berdasarkan modal inti. Perubahan ini dinilai merupakan langkah tepat, karena tidak lagi mengaitkan dengan kegiatan usaha jaringan bisnis bank, sehingga modal inti antara bank yang satu dengan bank yang lain tidak terlalu jauh.
Selain untuk kepentingan prudensial internal OJK, perubahan pengelompokan bank umum juga bertujuan untuk mendukung terlaksananya implementasi pengaturan yang efektif dan pengawasan yang efisien. Penetapan nilai modal inti pada masing-masing kategori atau kelompok telah melalui kajian akademis dan menyesuaikan dengan praktik perbankan di negara lain.
Implementasi peraturan perubahan kelompok bank umum
Dalam implementasi peraturan perubahan kelompok bank umum, OJK tidak menuntut bank segera menyesuaikan modal intinya sesuai dengan KBMI. Hal ini dimaksudkan agar OJK dapat menentukan kelompok bank secara tepat. Ke depannya, OJK akan mengawasi kelompok bank berdasarkan modal inti masing-masing bank di setiap kelas.
OJK mengevaluasi peraturan sebelumnya saat bank dikelompokkan berdasarkan kegiatan usaha, di mana konsolidasi bank tidak terealisasi meski aturan tersebut telah diimplementasikan bertahun-tahun, bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda adanya perubahan yang signifikan. Dalam implementasinya justru timbul masalah ketika terjadi perubahan peta bisnis bank yang menuju ke arah digitalisasi.
Syarat pengembangan atau ekspansi kegiatan usaha yang didasarkan modal inti sering kali menjadi kendala bank untuk maju dan berkembang. Tidak sedikit bank yang memiliki manajemen risiko bagus tetapi sulit bertumbuh karena terbentur aturan permodalan. Hal ini mengakibatkan bank-bank kecil mengalami stagnasi, karena tujuannya untuk bisa menjadi bank besar terhambat aturan modal.
Dengan mempertimbangkan kendala dan permasalahan yang timbul pada implementasi peraturan sebelumnya, OJK mencabut kelompok bank BUKU dan mengubahnya menjadi KBMI. Harapannya, bank-bank yang memiliki manajemen risiko bagus menurut regulator, bisa mengajukan perizinan baru untuk penambahan produk atau layanan.
Demikianlah artikel tentang Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti (KBMI), semoga bermanfaat bagi Anda semua.
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan regulator tidak mewajibkan bank umum untuk menaikkan modal inti minimal menjadi Rp 6 triliun setelah tahun 2022 seiring dengan berlakunya Peraturan OJK (POJK) Nomor 12 /POJK.03/2021 tentang Bank Umum.
Ketentuan minimal modal inti sebelumnya termaktub dalam POJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum yang menyebutkan minimal modal inti bank umum Rp 1 triliun di 2020, Rp 2 triliun di 2021 dan Rp 3 triliun di 2022.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana mengungkapkan, regulator tetap mengacu kepada aturan modal inti minimal bank umum sebesar Rp 3 triliun.
Seperti diketahui, di dalam POJK yang baru tersebut, OJK memang mengubah aturan pengelompokan bank dari Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) menjadi Kelompok Bank Berdasarkan Modal Inti atau KBMI.
"Saya ingin menegaskan kembali, KBMI tadi itu, apakah yang Rp 3 triliun akan didorong Rp 6 triliun, kita tidak mewajibkan [modal jadi Rp 6 triliun]. Bahwa pengelompokan bank itu untuk kepentingan untuk [pengawasan] OJK, aturan kami modal inti bank minimal Rp 3 triliun jadi patokan kami," ujarnya, dalam konferensi pers secara virtual soal sosialisasi POJK Nomor 12 terbaru, Senin (23/8/2021).
Dalam aturan POJK terbaru yakni POJK Nomor 12 /POJK.03/2021 tentang Bank Umum yang baru dirilis Kamis (19/8) dan diteken sejak 30 Juli 2021 itu, OJK mengelompokkan KBMI atas empat kelompok.
KBMI 1 untuk bank dengan modal inti sampai dengan Rp 6 triliun, KBMI 2 untuk bank dengan modal intinya lebih dari Rp 6 triliun sampai dengan Rp 14 triliun.
Lalu, KBMI 3 adalah bank dengan modal inti sebesar Rp 14 triliun sampai dengan Rp 70 triliun dan KBMI 4 ialah bank dengan modal inti lebih dari Rp 70 triliun.
Aturan ini berubah dari aturan terdahulu yang diwariskan dari Bank Indonesia (BI) yakni pengelompokan bank berdasarkan kelompok usaha (BUKU).
BUKU I untuk bank dengan modal inti di bawah Rp 1 triliun. BUKU II untuk bank dengan modal inti Rp 1 triliun hingga Rp 5 triliun. Selanjutnya, BUKU III untuk bank dengan modal inti Rp 5 triliun hingga Rp 30 triliun dan BUKU IV untuk bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.
Namun, Heru menambahkan, seiring dengan terus berkembangnya industri perbankan, dia meyakini, keperluan modal akan terus meningkat, sehingga diperkirakan secara alamiah perbankan akan menyesuaikan sendiri.
Foto: Aturan Bank Umum POJK 12 Tahun 2021
Aturan Bank Umum POJK 12 Tahun 2021
"Dengan perkembangan yang cepat mereka secara alamiah akan menyesuaikan diri mengikuti perkembangan zaman. Teknologi perlu modal. Kita ingin menegaskan kembali, patokan modal inti ya Rp 3 triliun, itu tidak ada kewajiban segera menjadi Rp 70 triliun," katanya.
Heru mengungkapkan, aturan pengelompokan KBMI ini sudah melalui kajian akademis dan best practices negara lain dan bertujuan agar klaster bank bisa menjadi lebih tepat.
"Ini hanya untuk kepentingan prudensial OJK, bagaimana klastering lebih tepat antara bank-bank itu," katanya.
Terkait dengan modal disetor, untuk pendirian bank baru, dalam aturan POJK 12 terbaru ini, OJK merevisi syarat modal disetor bagi pendirian bank baru yakni modal minimal Rp 10 triliun. Nilai ini naik tinggi dibandingkan aturan sebelumnya yakni Rp 3 triliun.
Saksikan video di bawah ini: